15 Jan 2014

“I Have a Dream...”



Pidato oleh Martin Luther King, Jr.

Pada “Barisan Washington”

Saya senang bergabung dengan kalian hari ini dalam apa yang akan tercatat pada sejarah sebagai demonstrasi terbesar demi kebebasan dalam sejarah bangsa kita.

Angka lima tahun lalu seorang pembesar Amerika dalam bayang simbolisnya kita berdiri hari ini menandai proklamasi emansipasi. Dekrit yang penting ini adalah sebuah cahaya lentera agung harapan kepada jutaan budak negro yang terbakar dalam nyala api dalam meremukkan ketidakadilan. Kedatangannya sebagai fajar kegembiraan untuk mengakhiri malam panjang penahanan mereka. Akan tetapi 100 tahun kemudian orang-orang Negro tetap tidak bebas. Seratus tahun kemudian kehidupan orang-orang Negro tetap pincang oleh belenggu pemisahan dan rantai diskriminasi. Seratus tahun kemudian orang-orang Negro menghuni pulau kesepian kemiskinan ditengah-tengah samudera luas kemakmuran materi. Seratus tahun kemudian orang-orang Negro tetap menderita disudut masyarakat Amerika dan menemukan dirinya dalam pengasingan tanah mereka sendiri. Sehingga kita datang kesini hari ini untuk mendramatiskan kondisi yang memalukan.

Dengan sebuah perasaan kita datang ke ibukota bangsa kita untuk melunasi cek (tanda). Ketika para arsitek republik kita menulis kata-kata ajaib konstitusi dan deklarasi kemerdekaan, mereka menandatangani surat perjanjian kepada setiap warga Amerika untuk mewariskan. Catatan ini adalah sebuah janji bahwa semua manusia-ya, manusia berkulit hitam sebagaimana manusia berkulit putih-akan dijamin hak-hak kehidupannya yang tidak dapat dicabut, kemerdekaan, dan pencapaian kebahagiaan. Ini nyata hari ini bahwa Amerika gagal dalam memenuhi janjinya sejauh ini mengenai perbedaan warna kulit warganegaranya. Malahan dalam menghormati kewajiban suci ini, Amerika memberi orang-orang negro upah yang buruk, sebuah upah yang kembali menandai “dana yang ‘tak berkecukupan”.

Tetapi kita menolak untuk mempercayai bahwa bank keadilan bangkrut. Kita menolak untuk mempercayai bahwa terdapat ketidakcukupan dana didalam almari besar peluang bangsa ini. Sehingga kita datang untuk membayar upah ini, sebuah tanda yang memberi kita pada permintaan kekayaan kebebasan dan keamanan keadilan.

Kita juga datang ke tempat yang suci ini untuk mengingatkan Amerika kedaruratan dahsyat sekarang ini. Tidak ada waktu untuk menggunakan kemewahan kesejukan atau menenangkan obat gradualisme. Sekarang waktunya untuk membuat nyata janji-janji demokrasi. Sekarang waktunya untuk bangkit dari gelap dan lembah pengasingan pemisahan kepada jalan yang disinari keadilan rasial. Sekarang waktunya untuk mengangkat bangsa kita dari pasir apung ketidakadilan rasial kepada batu padat persaudaraan.

Sekarang waktunya membuat keadilan realitas untuk semua anak Tuhan. Ini akan menjadi fatal untuk bangsa melupakan kewaspadaan pada keadaan. Musim panas yang terik ini dari ketidakpuasan hak-hak orang-orang Negro tidak akan berlalu hingga terdapat musim gugur yang menyejukkan dari kebebasan dan kesetaraan-1963 bukanlah sebuah akhir melainkan sebuah permulaan. Sesiapa berharap bahwa orang-orang Negro harus mengubah haluan tenaga dan kemauan sekarang menjadi muatan akan memiliki kebangkitan yang kasar bila kembali kepada pekerjaan seperti biasanya.

Tidak akan ada istirahat maupun kedamaian di Amerika hingga orang-orang negro disokong hak-hak kewarganegaraannya. Angin puyuh pemberontakan akan berlanjut untuk mengguncangkan pondasi bangsa hingga hari-hari cerah keadilan muncul.

Dan itulah yang harus saya katakan kepada orang-orang yang berdiri pada keterbatasan pakaian yang memimpin kepada istana keadilan. Dalam proses meraih kediaman hak-hak penuh kita, kita tidak perlu merasa bersalah terhadap perbuatan-perbuatan yang menyalahi. Relakan kita tidak mencari kepuasan dahaga kebebasan dengan meminum dari cangkir kebenciaan dan kedengkian.

Kita harus selalu mewadahi pertarungan kita pada pesawat tinggi martabat dan disiplin. Kita harus tidak mengijinkan protes-protes kreatif kita menurun kepada kekerasan fisik. Lagi dan lagi kita harus bangkit kepada ketinggian suci pada pertemuan kekuatan fisik dengan kekuatan jiwa. Nafsu baru perkelahian yang baik sekali yang telah melanda komunitas orang-orang Negro tidak harus memimpin kita pada ketidakpercayaan terhadap semua orang-orang berkulit putih, demi kebanyakan saudara-saudara kulit putih kita, sebagai pembuktian melalui kehadiran mereka disini hari ini, telah datang untuk mewujudkan bahwa takdir mereka terikat dengan takdir kita.

Mereka hadir untuk mewujudkan bahwa garis batas kebebasan mereka tidak dapat dipisahkan dari kebebasan kita. Kita tidak bisa jalan sendirian. Dan sebagaimana kita berjalan kita harus berikrar bahwa kita akan selalu berjalan kedepan. Kita tidak bisa kembali berbelok kebelakang. Terdapat sesiapa yang menanyakan kegemaran hak-hak sipil, “kapan kamu akan puas?” kita tidak akan merasa puas selama orang-orang Negro sebagai korban dari jeritan tak terdengarkan dari kebrutalan kebijakan.

Kita tidak akan pernah merasa puas selama badan kita, terasa berat oleh kepenatan perjalanan, tak bisa mendapatkan penginapan di motel jalan raya dan hotel-hotel kota.

Kita tidak akan pernah merasa puas selama dasar mobilitas negro yang berasal dari perkampungan Yahudi sesak di kota kepada yang lebih besar. Kita tidak akan pernah merasa puas selama anak-anak kita terlepas dari kedewasaannya dan dirampok martabatnya dengan tanda yang menegaskan “hanya untuk orang-orang Kulit Putih”.

Kita tidak akan pernah merasa puas selama orang-orang Negro Missisipi tidak bisa memberikan hak suara dan orang-orang Negro New York percaya bahwa mereka bukan siapa-siapa untuk memberikan hak suara.

Tidak, tidak, kita tidak puas, dan tidak akan merasa puas hingga keadilan mengalir seperti air dan kebajikan seperti arus yang kuat.

Saya tidak memusingkan bahwa sebagian dari kalian datang keluar kesini dari cobaan dan kesengsaraan yang luarbiasa. Sebagian dari kalian baru datang dari sel penjara yang sempit. Sebagian dari kalian datang dari tempat dimana harapan untuk kebebasan meninggalkan kalian seperti adonan oleh badai penyiksaan dan jalan sempoyongan oleh angin kebrutalan kebijakan. Kalian benar-benar telah menjadi veteran penderitaan yang kreatif.

Lanjutkan untuk bekerja dengan iman sebagai penderitaan tak terbayarkan sebuah penebusan. Pulang kembali ke Missisipi, pulang kembali ke Alabama, pulang kembali ke South Carolina, pulang kembali ke Georgia, pulang kembali ke Louisiana, pulang kembali ke perkampungan yang miskin dan perkampungan Yahudi di tengah kota bagian utara kita, ketahui bahwa bagaimanapun juga situasi ini bisa dan akan berubah. Jangan biarkan kita berkubang pada lembah keputusasaan.

Saya katakan pada kalian hari ini, temanku, walau, walaupun kita menghadapi kesulitan hari ini dan esok, saya tetap memiliki sebuah mimpi. Ini adalah sebuah mimpi yang berakar secara mendalam pada mimpi orang-orang Amerika. Saya memiliki sebuah mimpi bahwa suatu hari bangsa ini akan bangkit, mengeluarkan arti sebenarnya dari pengucapan kepercayaan, “Kita menggenggam semua kebenaran ini sebagai bukti pribadi, bahwa semua manusia diciptakan sama.”

Saya memiliki sebuah mimpi bahwa suatu hari pada perbukitan merah Georgia putra-putra hamba sahaya dan putra-putra majikan hamba sahaya akan dapat duduk bersama pada meja persaudaraan. Saya memiliki sebuah mimpi bahwa suatu hari bahkan negara bagian Missisipi, sebuah negara bagian memberikan panas terik dengan kepanasan ketidakadilan, memanas terikkan dengan panas penindasan, akan berubah kepada oasis kebebasan dan keadilan.

Saya memiliki sebuah mimpi bahwa empat anak kecil saya akan suatu hari tinggal dalam sebuah bangsa dimana mereka tidak akan diadili melalui warna kulitnya akan tetapi melalui muatan karakter mereka. Saya memiliki sebuah mimpi . . . Saya memiliki sebuah mimpi bahwa suatu hari di Alabama, dengan rasisnya yang ganas, dengan gubernurnya yang memiliki mulut meneteskan kata-kata penempatan dan penghapusan, suatu hari disana di Alabama anak-anak laki-laki dan perempuan berkulit hitam akan dapat bergandengan tangan dengan anak-anak laki-laki dan perempuan berkulit putih sebagai saudara perempuan dan saudara laki-laki.

Saya memiliki sebuah mimpi hari ini . . . saya memiliki sebuah mimpi bahwa suatu hari setiap lembah akan memuji-muji, setiap bukit dan gunung akan menjadi landai. Padang rerumputan yang menjulang akan menjadi dataran, dan permukaan bergolak akan menjadi rata. Dan keagungan Tuhan akan menjadi nyata, dan semua raga akan melihatnya bersama. Ini harapan kita. Ini sebuah keyakinan bahwa saya kembali ke Selatan dengannya. Dengan keyakinan ini kita akan dapat memegang pada gunung keputusasaan sebuah batu harapan. Dengan keyakinan ini kita akan dapat mengubah perselisihan tersembunyi bangsa kita kepada alunan indah persaudaraan. Dengan keyakinan ini kita akan dapat bekerja bersama, sembahyang bersama, berjuang bersama, dibui bersama, berdiri demi kebebasan bersama, ketahuilah bahwa kita akan bebas suatu hari nanti.

Ini akan menjadi hari ketika anak-anak Tuhan akan dapat bernyanyi dengan maksud yang baru, “Negeriku, ini darimu, tanah manis kemerdekaan, darimu aku bernyanyi. Tanah dimana ayahku meninggal, tanah kebanggaan orang suci, dari setiap sisi gunung, biarkan kebebasan bergema.” Dan bila Amerika menjadi bangsa yang besar, ini harus menjadi kenyataan. Jadi biarkan kebebasan bergema dari puncak bukit yang luar biasa New Hampshire. Biarkan kebebasan bergema dari gunung perkasa New York, biarkan kebebasan bergema dari ketinggian pernyataan-pernyataan Pennsylvania. Biarkan kebebasan bergema dari pegunungan salju Colorado. Biarkan kebebasan bergema dari lereng-lereng kerikil California.

Tetapi tidak hanya itu. Biarkan kebebasan bergema dari pegunungan bebatuan Georgia. Biarkan kebebasan bergema dari pegunungan tinjau Tennessee. Biarkan kebebasan bergema dari setiap bukit sekepalnya Missisipi, dari setiap sisi gunung. Biarkan kebebasan bergema . . .

Ketika kita menyetujui kebebasan untuk bergema-ketika kita merelakannya bergema dari setiap kota dan dusun kecil, dari setiap negara dan setiap kota, kita akan bisa menaikkan kecepatan bahwa hari ketika semua anak Tuhan, manusia berkulit hitam dan manusia berkulit putih, orang-orang Yahudi dan yang bukan, penganut Protestan dan penganut Katolik, akan dapat bergenggaman tangan dan bernyanyi dalam kata-kata spiritual Negro lawas, “Bebas pada akhirnya, bebas pada akhirnya, Tuhan Yang Maha Perkasa, Kita bebas pada akhirnya.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar