“Persembahan dari Anak kepada Orangtua”
Lahir di Jakarta, 24 Februari empat
puluh sembilan tahun yang lalu (saat ini tahun 2014) dengan nama Bambang
Supriyadi. Menghela nafas pertamanya di dunia dengan menatap ibu tanpa seorang
ayah. Ia bukan al-Masih (juru selamat) yang Tuhan meniupkan firman melalui
ruh-nya, akan tetapi ayahnya Muhadi bin (putera) Sahri telah meninggal dunia
sebelum sempat melihat buah cintanya.
Bambang Supriyadi adalah Bambang “I”
yang digunakan sebagai marga untuk Bambang berikutnya, uniknya, nama marga
keluarga ini berada didepan bukan dibelakang sebagaimana umumnya. Kemudian
Supriyadi adalah nama salah seorang pahlawan kemerdekaan yang hingga kini belum
diketahui dimana batang hidungnya (hubungannya dengan ayah akan disebutkan nanti).
Heran, teman-teman kecilnya memanggil ia “Irin”, aku kurang tahu mengapa ia
dipanggil demikian. Dan ia adalah silsilah akulturasi Purworejo (Ayah) dan
Palembang (Ibu).
Kehidupan kecilnya ia habiskan
bersama ibu dan neneknya, sosok lelaki hanya seorang paman dalam keluarganya
waktu itu. Saudara ayah juga meninggal dunia, “menurut mereka disebabkan sakit
karena terus menangis akan kehilangan ayahnya (Muhadi)”.
Jenjang pendidikan hanya sebatas
SLTA. Ingin melanjutkan apa daya biaya dan batin meninggalkan ibu seorang diri
terasa berat baginya. Sebagai siswa penikmat ilmu sosial wajar ia tahu
permasalahan-permasalah yang berkembang di masyarakat. Baik itu strata
marjinal, priyai, santri, madani, dan lain-lainnya. Ditambah ia gemar membaca
(biasanya safari pasar Jatinegara) dan plesir ke sekitar wilayah-nya.
Puluhan tahun hidup di Jakarta
membentuk karakternya, ia pernah merasakan asam-garam Ibukota. Seluk-beluk
metropolitan ia jelajahi pelosoknya (saya menjamin ia lebih paham Jakarta
dibanding yang beliau yang berkuasa. Allah knows the thruth).
Kehidupan fajar yang menuntun sang
surya terbit mencerahkan dunia hingga hidup didunia malam layaknya manusia
serigala menutupi purnama. Menurut ibu, ia lebih sering di sisi mata koin
kegelapan malam dimasa mudanya. Mungkin itulah juga sebabnya pasangan hidup
hingga saat ini lebih tua usianya dibanding dia.
Tidak berlebihan mungkin saya
menyebutnya “Pangeran Kolong Jakarta” sebab ia merupakan mantan seorang striker
klub sepakbola SSB lokal, pecandu rokok berat, bahkan The Bloodless Man.
Yah, gih masuk kementerian
pertahanan
divisi
perencanaan strategi dan keamanan yah
sebab ayah kan juara pertama “gaple” komplek
juara
kedua catur perumahan, dan
juara
kedua catur PT Kalbe Farma
Enu
tahu otak kanan ayah luarbiasa
...
Kenapa
? Yah
Selama pindah ke Cikarang tahun 2000
karena pabrik dialihkan keluar ibukota ia tetap memiliki karisma terhadap
lingkungan disekitarnya. Ia mapan dalam arti pengetahuannya luas dan
pengalamannya banyak, namun disayangkan setiap kali pemilihan ketua RT ia
menghilang dari bursa pemilihan. Itulah mengapa ia seorang Supriyadi, tak perlu jabat pemerintahan tapi bermanfaat
bagi sekitarnya.
Tanpa
mendapat mandat atasan atau amanah masyarakat sekitar ia bergerak menggagas
lomba-lomba hingga kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Perlu disimak bahwa sudah
beberapa tahun ini di setiap tanggal 25 Desember ia selalu menginisiasi sunat massal gratis bagi anak-anak
dilingkungannya maupun diluar lingkungan.
Tanpa ia sadari atau tak pernah ia pikirkan
Bahwa ia menggalakkan kesehatan dengan
khitanan
Bersandar Isa al-Masih diberikan-Nya
mukjizat ilmu Kesehatan
Kehidupannya berubah barangtentu
sebab meninggalnya putera pertama “Bambang Eka Wicaksono” ia nampak lebih sering
menyembah-Nya. Dan sebagai pelajaran yang dapat diperoleh bahwa ia baru mampu
membaca al-Qur’an di usia yang menginjak kepala empat. Disayangkan memang,
tetapi perlu diberikan apresiasi keinginan besarnya untuk lebih dekat
kepada-Nya. Ya, dia seorang perokok berat namun juga ahl-sunnah wa al-jama’ah.
Semoga amal perbuatan dia
Menghapus dosa masa lalunya
Sebagaimana hujan menghilangkan debu dan
kotoran
Di jalan lurus maupun persimpangan
Di usia yang kian senja dari masa
produktifnya ditambah telah pensiun dari pekerjaannya sebagai karyawan swasta, ia
menghabiskan masa emasnya dengan berusaha. Bebas dari pekerjaan kasar sebab
revolusi industri, ia menghidupi keluarganya dengan tangan dan perbuatannya
sendiri.
Mengapa orang-orang sepertinya tidak
memiliki kehidupan yang dibayangkan ?
Yah, ilmu ayah luas serta pengalaman matang
Mengapa tidak ayah saja mengisi posisi
mereka
Yang dari kapabilitas rata-rata ayah
diatasnya
Tetapi realitanya malah sebaliknya
Apakah ayah kalah
“Bukan” karena ilmu yang ayah punya
Tapi karena kurang lantangnya suara
Yang “mereka” jual untuk mengembalikkan
“modal”
Di Pemilihan Umum
Dan memang ayah tidak menginginkan maupun
mengikutinya
Tapi ayah, membuktikan kami keluarganya
Teladan mengubur slogan-slogan
kereeen tulisannya... selamat milad buat ayahnya :)
BalasHapushahaha makasih ya
BalasHapusiseng-iseng aja nulis :)