24 Des 2013

Teologi Islam



Review Buku:
“Aliran-Aliran, Sejarah, Analisa, dan Perbandingan”

Sejarah timbulnya Persoalan-persoalan Teologi dalam Islam

            Persoalan yang pertama timbul (dalam Islam) adalah dalam bidang politik yang segera meningkat menjadi persoalan teologi. Dalam sejarahnya Nabi Muhammad ketika di Mekkah hanya mempunyai fungsi kepala agama, namun sebaliknya di Madinah, Nabi Muhammad disamping menjadi kepala agama juga menjadi kepala pemerintahan.

            Sebagai nabi dan rasul, nabi tentu tak dapat digantikan dan sebagai kepala negara (khilafah) maka ditunjuklah Abu Bakar, kemudian Umar, lalu Utsman. Utsman yang dikenal lemah belum mampu menahan nepotisme dikalangan pemerintahannya yang kemudian memunculkan pemberontakan yang mengakibatkan ia terbunuh. Ali sebagai calon terkuat menggantikan posisi Utsman sebagai Khalifah.

            Karena kekisruhan politik ketika itu, timbullah tantangan dari Talhah dan Zubair yang mendapat sokongan dari Aisyah (istri Rasulullah) hingga mereka kalah dan Aisyah dikembalikan ke Mekkah. Tantangan kedua datang dari Mu’awiyah (Gubernur Damaskus) yang menuntut penuntasan pembunuhan Utsman.

            Kedua pihak (Ali & Mu’awiyah) sepakat untuk melakukan arbitrase (yang diwakili Abu Musa & Amr ibn al-Ash). Kelicikan Amr merugikan pihak Ali dan secara tidak langsung menjadikan Mu’awiyah sebagai Khalifah tidak resmi. Keputusan Ali menerima arbitrase ditentang segolongan tentaranya yang kemudian keluar dan memisahkan diri (seceders) dan dikenal sebagai al-Khawarij. Sekarang Ali mendapat dua musuh hingga ia terbunuh dan Mu’awiyah dengan mudah menggantikan posisinya sebagai khalifah.

            Persoalan-persoalan politik diatas inilah yang kemudian menimbulkan persoalan-persoalan teologi. Timbulah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir dalam arti siapa yang telah keluar dari islam dan siapa yang tetap dalam islam. Persoalan berkembang tidak hanya mengenai kekafiran, juga mengenai dosa besar (murtakib al-kaba’ir atau capital sinners) juga dipandang kafir.

            Persoalan orang berbuat dosa besar ini selanjutnya berpengaruh dalam pertumbuhan teologi islam selanjutnya: masihkah ia bisa dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu ?

            Melalui persoalan ini munculah tiga aliran:

            Pertama, Khawarij, yang mengatakan bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir (murtad). Kedua, Murji’ah, yang menegaskan bahwa orang yang berdosa besar tetap mukmin, soal dosa dikembalikan kepada Allah. Ketiga, Mu’tazilah, orang yang berbuat dosa besar bukan kafir dan bukan pula mukmin (posisi diantara dua posisi atau al manzilah bain al manzilitain).

            Dalam pada itu timbul pula dalam islam dua aliran dalam teologi: pertama, al-qadariah, manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya (free will atau free act. Kedua, al-jabariah, manusia dalam segala tingkah lakunya bertindak dengan paksaan dari Tuhan (fatalism).

            Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran khawarij, Mur’jiah, Mu’tazilah, Asy’ariah  (9335 M), dan Maturidiah (w. 944 M). Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran-aliran Maturidiah (mazhab hanafi) dan Asy’ariah (mazhab sunni lainnya), dan keduanya disebut Ahl sunnah wa al-jamaah.

Kaum Khawarij

            Kaum khawarij memiliki paham demokrasi, yaitu siapa saja dari umat islam berhak menjadi khalifah sesuai dengan mengikuti syari’at islam, kalau ia menyeleweng maka wajib dijatuhkan.

            Kaum khawarij pada umumnya terdiri dari orang-orang Arab Badawi. Hidup di padang pasir yang serba tandus membuat mereka sederhana dalam cara hidup dan pemikiran, tetapi keras hati serta berani, dan bersikap merdeka, tidak bergantung pada orang lain. Perubahan agama tidak membawa perubahan dalam sifat-sifat ke-badawi-an mereka.

            Kaum khawarij terpecah-pecah menjadi beberapa sub-sekte yang diantaranya: Al-Muhakkimah, Al-Azariqah, Al-Najdat, Al-‘Ajaridah, Al-Sufriah, dan Al-Ibadiah.

Kaum Murji’ah

            Kaum Murji’ah pada awalnya merupakan golongan baru yang bersikap netral tidak turut dalam praktek kafir-mengkafirkan. Bagi mereka sahabat-sahabat yang bertentangan itu merupakan orang-orang yang dapat dipercayai dan tidak keluar dari jalan yang benar.

            Oleh karena itu mereka tidak mengeluarkan pendapat tentang siapa yang sebenarnya salah (melainkan siapa yang masih mukmin dan tidak keluar dari islam), dan memandang lebih baik menunda (arja’a). Kata arja’a mengandung arti membuat sesuatu mengambil tempat dibelakang dalam makna memandang kurang penting. Arja’a selanjutnya, juga mengandung arti pengharapan.

            Pada umumnya kaum Murji’ah dapat dibagi dalam dua golongan besar, golongan moderat dan golongan ekstrim. Golongan moderat (diterima ahl sunnah wa al-jama’ah) berpendapat bahwa orang yang berdosa besar bukanlah kafir dan tidak kekal dalam neraka. Dalam golongan Murji’ah moderat ini termasuk al-Hasan Ibn Muhammad Ibn ‘Ali Ibn Abi Talib, Abu Hanifah, Abu Yusuf dan beberapa ahli hadits. Diantara golongan ekstrim ialah al-Jahmiah, pengikut-pengikut Jahm Ibn Safwan. Menurut golongan ini orang islam yang percaya pada Tuhan dan kemudian menyatakan kekufuran secara lisan tidaklah menjadi kafir, karena iman dan kufr tempatnya hanyalah dalam hati.

Qadariah dan Jabariah

            Tuhan adalah pencipta alam semesta, termasuk didalamnya manusia sendiri. Selanjutnya Tuhan bersifat mahakuasa dan mempunyai kehendak yang bersifat mutlak. Disini timbullah pertanyaan sampai dimanakah manusia sebagai ciptaan Tuhan, bergantung pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dalam menentukan perjalanan hidupnya ? diberi Tuhankan manusia kemerdekaan dalam mengatur hidupnya ? ataukah manusia terikat seluruhnya pada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan.

            Dalam menanggapi pertanyaan-pertanyaan seperti ini kaum Qadariah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Dengan demikian nama qadariah berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar atau kadar Tuhan (free will atau free act). Paham qadariah pertama kali ditimbulkan oleh Ma’bad al-Juhani dan temannya Ghailan al-Dimasyqi.

            Ayat-ayat dalam al-Qur’an yang berisi paham qadariah diantaranya: al-Kahf (18) ayat 29, Fussilat (41) ayat 40, al-Imran (3) ayat 164, al-Rafd (13) ayat 11.

            Kaum jabariah berpendapat sebaliknya. Manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Nama jabariah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Perbuatan-perbuatan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kadar Tuhan (fatalism atau predestination). Tokohnya ialah al-Ja’d Ibn Dirham dan yang menyiarkan Jahm Ibn Safwan (ekstrim) serta al-Nijjar dan Dirar (moderat).

            Ayat-ayat dalam al-Qur’an yang berisi paham jabariah diantaranya: al-An’am (6) ayat 112, al-Saffat (37) ayat 96, al-Hadid (57) ayat 22.

            Dalam sejarah teologi islam, selanjutnya paham qadariah dianut oleh kaum Mu’tazilah sedang paham jabariah (tidak identik dengan tokoh-tokoh yang disebutkan), terdapat dalam aliran al-Asy’ariah.

Kaum Mu’tazilah

            Kaum mu’tazilah adalah golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis daripada persoalan-persoalan yang dibawa kaum khawarij dan Murji’ah. Dalam pembahasan, mereka banyak memakai akal sehingga mereka mendapat nama “kaum rasionalis islam”.

            Golongan mu’tazilah pertama hirau pada persoalan politik. Yaitu ketika al-Tabari memilih memisahkan diri dari pertikaian sewaktu Qa’is Ibn Sa’ad menjadi gubernur Mesir. sementara mu’tazilah golongan kedua selain hirau pada persoalan politik juga hirau dengan persoalan-persoalan teologi dan falsafat. Peristiwa ini dimulai dengan Wasil Ibn ‘Ata serta temannya Amr Ibn Ubaid menjauhkan diri dari Hasan al-Basri.

            Kaum Mu’tazilah memiliki pancasila-nya yaitu al-Usul al-Khamsah (lima ajaran dasar yang menjadi pegangan), sebagai dijelaskan pemuka-pemuka mu’tazilah sendiri, diberi urutan menurut pentingnya kedudukan tiap dasar, sebagai berikut:

1. Al-Tawhid (kemaha-Esa-an Tuhan), Tuhan dalam paham mereka, akan betul-betul Maha Esa hanya kalau Tuhan merupakan suatu zat yang unik, tidak ada yang serupa dengan Dia.
2. al-‘adl (Keadilan), hanya Tuhan-lah yang berbuat adil; Tuhan tidak bisa berbuat zalim.
3. al-wa’d wa al-wa’id (janji dan ancaman), Tuhan tidak akan disebut adil, jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan jika tidak menghukum orang yang berbuat buruk.
4. al-manzilah bain al-manzilatain (posisi menengah bagi berbuat dosa besar), pembuat dosa besar bukanlah kafir, karena ia masih percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad; tetapi bukan pula mukmin, karena imannya tidak lagi sempurna.
5. al-‘Amr bi al-‘Ma’ruf wa al-Nahy ‘an al-Munkar (perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat), perintah berbuat baik dan larangan berbuat jahat dianggap sebagai kewajiban bukan oleh kaum Mu’tazilah saja, tetapi juga oleh golongan umat islam lainnya. Dengan demikian kalau dapat cukup dengan seruan, tetapi kalau perlu dengan kekerasan.

            Kaum Mu’tazilah ataupun menggunakan pemikiran mu’tazilah tidaklah membuat seseorang keluar dari islam.

Ahli Sunnah dan Jama’ah

            Istilah ahli sunnah dan jama’ah terlihat muncul sebagai reaksi terhadap paham-paham dan sikap-sikap kaum Mu’tazilah dalam menyiarkan ajarannya. Istilah tersebut mengacu pada golongan yang berpegang pada sunnah (hadits) dan merupakan mayoritas.

            Yang dimaksud dengan ahli sunnah dan jama’ah di dalam teologi islam adalah Abu al-Hasan al-Asy’ari  (873 M-935 M) [kaum Asy’ariah]. Tokoh-tokoh lainnya adalah al-Baqillani, Ibn Mujahid, al-Bahili, al-Juwaini, al-Ghazali, Ibn Tumart (Maroko-Andalusia) dan al-Ghaznawi (bagian Timur-India). Pengaruh Asy’ariah masih tetap bertahan hingga saat ini.

            Golongan lainnya ialah Maturidiah (Abu Mansur Muhammad Ibn Muhammad Ibn Mahmud al-Maturidi) (pertengahan abad 9 M-944 M). Sebagai pengikut Abu Hanifah yang banyak memakai rasio dalam pandangan keagamaannya, al-Maturidi banyak pula memakai akal dalam sistem teologinya. Oleh karena itu antara teologinya dan teologi yang ditimbulkan oleh Asy’ari terdapat perbedaan, sungguhpun keduanya timbul sebagai reaksi terhadap aliran Mu’tazilah. Tokoh lainnya ialah Abu al-Yusr Muhammad al-Bazdawi.

Bersambung...

Sumber:
Nasution, Harun. (2010). Teologi Islam: Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta: UI-Press.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar