Sebuah
essai yang di “salin-tempel” secara utuh dari karya Komaruddin Hidayat.
Bangsa
yang Kalah
Bagai prajurit yang kalah di medan
tempur, semakin panjang deretan politikus yang kalah saat maju dan dihadapkan
pada problem politkik dan birokrasi kenegaraan. Tragisnya, umumnya mereka
terjungkal oleh ranjau korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Maka cerita
seputar politisi Indonesia adalah sebuah cerita panjang tentang kekalahan yang
berdampak pada keterpurukan dan kehancuran sebuah bangsa dengan kekayaan alam
yang demikian melimpah.
Saya sungguh ingin tetap optimis dan
positif melihat nasib bangsa ini. Namun saya juga realistis. Kisa politik
Indonesia adalah cerita panjang tentang perjalanan dan nasib bangsa yang serba
kalah, sejak zaman VOC sampai sekarang. Sampai-sampai muncul guyon yang pahit
tentang citra bangsa Indonesia. Amerika Serikat (AS) dikenal sebagai bangsa
sombong, Belanda bangsa pelit, Jepang dikenal karena disiplin dan kerja keras,
lalu apa kata orang tentang bangsa Indonesia ? Bangsa yang korup dan dihinggapi
penyakit dengki pada sesamanya. Jika ada orang atau kelompok yang berhasil
bukannya didukung, tetapi dijegal agar sama-sama gagal.
Maka bangsa ini terjerat kubangan the self-destroying nation, bangsa yang
sedang menghancurkan diri sendiri. Tragisnya, semua kegagalan dan kehancuran
dicarikan kambing hitam pada pihak lain, entah lawan politik atau kekuatan
asng. Maka teori konspirasi dikenal dinegeri ini. Semua kehancuran negeri
adalah akibat kekuatan asing yang sengaja ingin merusak Indonesia. Sasaran
paling populer adalah jaringan Yahudi. Berikutnya adalah sisa-sisa kekuatan
Orde Lama dan Orde Baru. Siapapun politisi, entah duduk di eksekutif maupun
legislatif, ingin mencitrakan diri sendiri, cinta bangsa, dan benar-benar bekerja
untuk rakyat.
Mereka seakan tak kenal salah. Apabila gagal mengurus negara, penyebabnya bukan pada mereka tetapi pada pihak lain, sehingga dinegeri ini tabu bagi pejabat negara dan politisi mengakui kesalahan dan minta maaf kepada rakyat.
ᴏᴏᴏ
Ada pertanyaan sinis dan
menyakitkan, apa yang menyamakan semua mantan presiden negeri ini ? Cukup satu
kata: kalah. Semua kalah, sehingga dinegeri ini tak ada yang disebut bapak
Bangsa yang diagungkan dan dijadikan model dalam mencintai dan membangun Tanah
Air. Semua presiden turun takhta karena diempas gelombang demonstrasi, sehingga
masing-masing mengidap luka politik. Anehnya, tokoh-tokoh yang ikut menurunkan
presiden, saat ganti kuasa, perilakunya tak beda dengan pendahulunya. Para
antropolog dan psikolog perlu serius meneliti, mengapa elit politik bangsa ini
mudah sekali lupa diri dan tidak memiliki konsistensi moral politik ?
Ada teori, secara antropologis bangsa ini tergolong sebagai the defeated culture. Sebuah bangsa yang ditakdirkan Tuhan untuk selalu kalah. Tetapi teori ini dibantah, karena Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila mereka tidak mau mengubah nasib dirinya. Yang lain berpendapat, semua ini akibat dimanja alam yang subur sehingga menjadi malas. Karena tidak mengenal siklus empat musim, bangsa Indonesia tidak terbiasa membuat perencanaan dan antisipasi kedepan sebagaimana mereka yang mengenal musim salju yang mencekam.
Lainnya menyebutkan, kehancuran mental bangsa ini akibat terlalu lama dijajah sehingga suasana batinnya selalu ingin marah, memberontak, mencari jalan pintas, dan mereka hanya tunduk pada pemimpin yang kuat. Akibat lama dijajah, baik oleh kekuatan asing maupun pemerintahannya sendiri, masyarakat tidak memiliki tradisi hidup teratur dan disiplin kecuali diancam dengan senjata.
Dari berbagai pandangan itu, ada pandangan lain yang rasanya paling tepat. Yaitu, semua kebobrokan yang terjadi ini akibat tidak adanya keteladanan dari atas. Sebagai masyarakat yang yang kuat dengan tradisi paternalisme, sesungguhnya mengatur bangsa ini tidak sulit. Kuncinya, para penguasa harus memberi contoh yang baik dan konsekuen.
Bagaimana rakyat akan taat hukum bila melihat atasannya seenaknya melanggar hukum tanpa sanksi. Bagaimana mungkin pegawai rendahan tidak malas dan tidak ingin korupsi bila menyasikan atasannya hanya sibuk dengan acara protokoler yang serba basa-basi.
Sekali lagi, kata kunci dari semua kehancuran ini adalah tiadanya keteladanan dari atas. Andaikan para petinggi negara dari dahulu mempraktikkan hidup transparan dan sederhana, pasti kita hidup aman dan makmur, terhindar dari jerat utang dan krisis berkepanjangan seperti ini.
Jadi, siapa sebenarnya yang menghancurkan bangsa ini ? tak lain adalah elitnya sendiri. Mereka menghancurkan martabat dan harga dirinya didepan rakyat dan masyarakat dunia dengan mengorbankan kepentingan bangsa. Nurani rakyat amat terluka dan tidak mudah untuk membangkitkannya lagi kecuai ada kekuatan radikal yang menghentakkan eksistensi kita sebagai bangsa.
Ada teori, secara antropologis bangsa ini tergolong sebagai the defeated culture. Sebuah bangsa yang ditakdirkan Tuhan untuk selalu kalah. Tetapi teori ini dibantah, karena Tuhan tidak akan mengubah nasib suatu kaum bila mereka tidak mau mengubah nasib dirinya. Yang lain berpendapat, semua ini akibat dimanja alam yang subur sehingga menjadi malas. Karena tidak mengenal siklus empat musim, bangsa Indonesia tidak terbiasa membuat perencanaan dan antisipasi kedepan sebagaimana mereka yang mengenal musim salju yang mencekam.
Lainnya menyebutkan, kehancuran mental bangsa ini akibat terlalu lama dijajah sehingga suasana batinnya selalu ingin marah, memberontak, mencari jalan pintas, dan mereka hanya tunduk pada pemimpin yang kuat. Akibat lama dijajah, baik oleh kekuatan asing maupun pemerintahannya sendiri, masyarakat tidak memiliki tradisi hidup teratur dan disiplin kecuali diancam dengan senjata.
Dari berbagai pandangan itu, ada pandangan lain yang rasanya paling tepat. Yaitu, semua kebobrokan yang terjadi ini akibat tidak adanya keteladanan dari atas. Sebagai masyarakat yang yang kuat dengan tradisi paternalisme, sesungguhnya mengatur bangsa ini tidak sulit. Kuncinya, para penguasa harus memberi contoh yang baik dan konsekuen.
Bagaimana rakyat akan taat hukum bila melihat atasannya seenaknya melanggar hukum tanpa sanksi. Bagaimana mungkin pegawai rendahan tidak malas dan tidak ingin korupsi bila menyasikan atasannya hanya sibuk dengan acara protokoler yang serba basa-basi.
Sekali lagi, kata kunci dari semua kehancuran ini adalah tiadanya keteladanan dari atas. Andaikan para petinggi negara dari dahulu mempraktikkan hidup transparan dan sederhana, pasti kita hidup aman dan makmur, terhindar dari jerat utang dan krisis berkepanjangan seperti ini.
Jadi, siapa sebenarnya yang menghancurkan bangsa ini ? tak lain adalah elitnya sendiri. Mereka menghancurkan martabat dan harga dirinya didepan rakyat dan masyarakat dunia dengan mengorbankan kepentingan bangsa. Nurani rakyat amat terluka dan tidak mudah untuk membangkitkannya lagi kecuai ada kekuatan radikal yang menghentakkan eksistensi kita sebagai bangsa.
ᴏᴏᴏ
Mari kita belajar dari pengalaman bangsa Jepang. Hancurnya Hiroshima dan Nagasaki pada Perang Dunia II, dijadikan momentum dan tekad bangsa Jepang untuk bangkit melawan Barat, tetapi dalam wujud ledakan produksi teknologi otomotif dan elektronika yang amat kompetitif sehingga Barat dibuat kelabakan. Juga Jerman (Barat), Korea Selatan, Malaysia, dan Cina, semuanya melakukan konsolidasi dengan melakukan perbaikan spektakuler dibidang pendidikan, memperkuat riset teknologi, investasi modal nasional, dan menegakkan supremasi hukum. Yang terjadi di negeri ini justru konspirasi politik untuk melecehkan hukum yang menghancurkan etika berbangsa.
Saya sulit menduga-duga perasaan dan pikiran para elit politik dan pemerintah kita saat bangsa lain sibuk berkompetisi dan menjalin kemitraan dalam percaturan dunia dibidang sains dan ekonomi tetapi disini justru sibuk saling menjegal dan memfitnah lawan politik semata untuk memenangkan pemilu dengan cara tidak elegan. Tragisnya lagi, saat jabatan telah diraih, agenda pertama adalah memperkaya diri dan setor ke partainya meski dengan jalan korupsi.
Aura demikian tidak akan mendatangkan berkah dan rasa nyaman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Yang muncul adalah komunikasi politik yang pengap, masing-masing merasa diri paling benar sambil menjatuhkan yang lain. Ketulusan, keikhlasan, kesungguhan, dan profesionalisme tidak tercermin dalam panggung perpolitikan Indonesia. Maka wajar bila daftar orang yang kalah kian panjang dari tahun ke tahun.
Yang memilukan, kekalahan aktor politisi kita telah berdampak amat signifikan pada kehancurn dan kerugian negara dan bangsa yang kian tak berdaya menghadapi ganasnya ekspansi kekuatan asing dibidang ekonomi, sains, dan persenjataan. Saya teringat keluhan Mahathir Mohamad yang merasa gagal mendidik bangsa Melayu agar memiliki tradisi kerja keras dan disiplin tinggi. Meski Malaysia telah menunjukkan kemajuan yang amat mengesankan dalam memajukan diri, namun Mahathir tetap menyimpan keraguan bahwa bangsa Melayu tidak akan sanggup berkompetisi dengan bangsa Cina dalam tradisi bekerja keras dan ambisi untuk berprestasi.
Pertanyaannya, darimana harus melakukan perbaikan saat virus korupsi dan pesimisme telah merata keseluruh tubuh birokrasi dan menjalar ke masyarakat ? Jawabnya, tekad dan keteladanan dari atas. Kabinet Megawati masih berkesempatan untuk berbuat besar bagi bangsa ini. Kalau tidak mau dan tidak mampu, akankah nasib bangsa akan ditentukan hanya oleh sekelompok orang yang sedang berkuasa ?
Saya ingin bersikap positif dan optimis terhadap bangsa saya, tetapi yang selalu terbayang adalah perilaku politisi yang rakus, hanya memikirkan diri disertai sifat iri dan dengki, tidak rela melihat orang lain sukses. Mungkin persepsi saya salah. Bagaimana menurut anda ?
Komaruddin Hidayat lahir
di Magelang, 18 Oktober 1953. Dikenal sebagai kolumnis produktif disamping
pekerjaan tetapnya sebagai dosen IAIN Jakarta. Ia pernah bekerja sebagai Fellow
Researcher di McGill University, Montreal, kanada (1995) dan di Harfort
seminary, Connecticut, AS (1997); dan menyelesaikan S-3-nya di Universitas
Ankara, Turki, Jurusan Filsafat. Ia pernah pula bekerja sebagai wartawan
majalah Panji Masyarakat (1978-982);
direktur eksekutif Yayasan Paramadina (1997-1998); dosen STF Driyakara
(1990-1992); dan dosen pasca sarjana UI (1991-1992).
Sumber: KOMPAS,
22
Januari 2003.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar