5 Mar 2014

Absensi

Sebuah Percakapan 

Mahasiswa, “Pak, maaf absennya belum.”
Ast. Dosen, “Iya ? Kelupaan saya. Besok-besok kalo saya lupa ingetin aja ditengah-tengah kuliah.”
Mahasiswa, “Iya Pak.”

Memang itu yang sedari tadi kita tunggu. Kami mahasiswa tidak mengerti apa yang barusan secara panjang lebar dijelaskan. Beberapa tenaga pengajar juga sama, gamau tau entah mahasiswanya paham atau nggak. Begitulah, “key player” dalam satu ruangan yang biasa disebut kelas itu adalah Daftar Kehadiran. Bahasa William Shakespeare-nya “That is the question!”

Nama adalah Do’a

Entah orang Indonesia menyebut sarana paraf tersebut apa, daftar presensi, daftar kehadiran atau memang absensi yang sudah umum dikenal dan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Apalah arti sebuah nama, begitu para penyair menyebutnya. Tapi, kalau memang rajin mengamati terdapat makna mendalam disana. Dosen sekarang sudah canggih presensinya, pakai sidik jari dengan passwordnya, jadi ketahuan kalau masuk atau nggak, telat tidak telat, tanpa keterangan pun ketahuan. Sayang mahasiswanya masih konvensional, seperti di abad ke-7 atau abad ke-8 Masehi yang masih menggunakan tinta dengan bulu angsa dan kertas. Muncul suatu pertanyaan, sudah melakukan apa saja kita selama kurang lebih 13 abad ini ? Terlalu lama dijajah, mengisolasikan diri karena kita memang negara insular, atau apa ? Tapi intinya sama, sejak pertama kali kertas dan tinta digunakan manusia sudah mampu membuat tanda dan sekarang di abad ke-21 ini, kita (mahasiswa) masih tanda tangan pakai kertas dengan tinta.

Karena masih menggunakan alat-alat zaman al-Ghazali (algazel) al-Khawarizmi (algoritma), al-Jalaluddin rumi, hingga Harun ar-Rasyid (aaron the Upright) dengan negeri 1001 malamnya yang masih eksis maka di zaman Bill Gates, Steve Jobs, Mike Zuckenberg yang sudah serba tele (jarak jauh) maka paraf tersebut sangat mudah di apusi. Namanya juga absensi, tanda tangannya ada tapi batang hidungnya pun tak tampak.

Idealisme

Istilah politik Abuse of Power (penyalahgunaan wewenang/kekuasaan) suitable digunakan. Para pelajar sering sekali melakukannya, umumnya titip absen, double absen, triple absen, combo absen dan sebagainya.

Perkenalkan, saya seorang pelajar berusia 19 tahun jalan. Kurang lebih 13 tahun saya duduk dibangku sekolah. Sama seperti pelajar lain kebanyakan, empat jenjang pendidikan saya pernah jajaki yang namanya bolos. Jangan ditiru!

Di SD saya bolos bertiga bersama teman karena sewaktu itu kami pikir materi kosong setelah ujian sekolah, jadi pergi saja kami bermain. Juga sewaktu bersepak bola, kami semua sengaja mensiasati waktu hingga kembali ke sekolah di jam yang hampir pulang.

Di SMP juga pernah bolos. Sial memang, kalau tidak salah pada waktu itu kampanye bupati atau perbaikan jembatan, seingat saya. Bersama teman-teman ketelatan masuk sekolah yang harusnya jam 12.45, kita datang jam 13.30. Kedua teman saya memutuskan ke warnet karena zaman itu lagi booming-nya. Pikiran saya, "masa’ iya berangkat bertiga tinggal sendirian masuk kelas lagian waktu itu juga udah basah kuyup kehujanan."

SMA lebih berkesan. Menjelang Ujian Nasional, mata pelajaran difokuskan untuk yang diujikan saja. Hari itu kami belajar biologi, Bu Enik gurunya , pagi-pagi semau ke kantin sempat berpapasan. Entah setan dalam bentuk apa atau memang saya sendiri-lah, menjelang siang tepat dipelajarannya saya bolos. Apesnya, Bu Enik memanggil M. Rinaldi (Abot) dengan nama saya, nah disitulah ketauannya. Kata teman-teman yang masuk "bakalan kena besoknya" tahu sendiri ia terkenal dengan “tinju”-nya. Katanya sih seruangan nahan ketawa ketika itu.

Benar saja, besoknya satire bergema, “Bambang, kemarin kemana sekarang ada.” Jadi bahan cengan waktu itu. Makin sarkasme Bu Enik melontarkan pertanyaan. Beruntung waktu itu saya mampu menjawabnya Prokk! Prokk! Prokk! Bu Enik ber-paradoks, “Bambang ini sebenarnya pintar sayang aja kurang rajin.” Serasa hari itu hari jum’at dan malaikat Israfil berancang-ancang meniupkan sangkakalanya. Duarrr! Hancur alam semesta berkeping-keping.

Benar atau tidak, diyakini apa engga, pernyataan guru saya terdahulu, “Kalo pinter sih gapapa bandel.” Terhimpun dikepala.

Di bangku kuliah saya juga bolos. Mengajak teman-teman SMA saya mengikuti seminar dan mengosongkan kuliah. Tapi lumayan juga hasil dari seminar itu kita bisa makan buat dua malam. Wkwkwk

Dari semua kejadian tersebut ada kepaduan. Idealisme. Semuanya murni bolos, saya kosongkan, tidak ada titip-titipan. Saya juga sempat berpikir, "kalau saya titip sekali absen pasti seterusnya temen-temen bergantian berkali-kali lipat." Rasionalisme. "Bolos saja dosa apalagi titip absen double tuh dosanya," pikir saya. Dosa sendiri-sendiri aja udah gede ditambah manggul dosa orang. Gamau ah ngajak-ngajak orang nambah-nambah dosa nanti main salah-salahan didepan Tuhan. Nambahan dosa malah! Bolos sih bolos aja udah.

Foto: Seperti Kerbau dicucuk Hidungnya
OTR TT 1

Kembali

Masa depan terasa suram bagi negeri yang besar ini. Cicit-cicit korupsi sudah marak terjadi, terang-terangan, sistematis  pula. Hebat. Mau dikemanakan kami kami ini kalau dalam ruangan yang difokuskan hanya jam keluar tidak lebih dan boleh kurang serta sebuah kertas absensi. Beberapa guru juga sama, yang penting kalian bayar, mau masuk atau enggak bukan masalah yang penting kami sudah dibayar, mengerti atau tidak juga tidak masalah sebab para guru sudah menunaikan amanahnya. Sempat sakit hati saya (walaupun waktu itu yang dituju bukan saya!) ketika guru berkata, “Terserah kalian sajalah, anak saya juga bukan.”

Sia-sia sajalah kemuliaan ilmu
Yang kita tunggu sekedar jam selesai
Mengerti tidak mengerti bukan masalah
Datang berseragam saja sudah baik
Pada selembar kertas putih kita bertumpu
Paham tidak paham yang penting hitam diatas putih
Yang paling utama adalah gelar bukan ilmu

Renungan

Dari 500 orang ini (angkatan dalam pelajar) mungkin hanya 1 atau 2 saja yang jadi pakar, sedangkan yang lain jadi parasit...yang kerjanya hanya mengutak-utik karya yang itu-itu saja tanpa kemampuan mengembangkan apresiasi kepada masyarakat.

Saya pikir, ribuan sarjana...yang telah diproduk dengan biaya mahal itu hanyalah menjadi orang-orang yang mubazir. Ilmu yang diperolehnya tidak bermanfaat bagi dirinya sendiri, apalagi bagi orang lain. (Navis, A.A., 1999).   

Absensi Oh Absensi, Ilmunya! 
    
           
           

Tidak ada komentar:

Posting Komentar