Sebuah Percakapan
Mahasiswa,
“Pak, maaf absennya belum.”
Ast.
Dosen, “Iya ? Kelupaan saya. Besok-besok kalo saya lupa ingetin aja
ditengah-tengah kuliah.”
Mahasiswa,
“Iya Pak.”
Memang
itu yang sedari tadi kita tunggu. Kami mahasiswa tidak mengerti apa yang
barusan secara panjang lebar dijelaskan. Beberapa tenaga pengajar juga sama,
gamau tau entah mahasiswanya paham atau nggak. Begitulah, “key player” dalam satu
ruangan yang biasa disebut kelas itu adalah Daftar Kehadiran. Bahasa William Shakespeare-nya “That is the question!”
Nama adalah Do’a
Entah
orang Indonesia menyebut sarana paraf tersebut apa, daftar presensi, daftar
kehadiran atau memang absensi yang sudah umum dikenal dan digunakan dalam
kehidupan sehari-hari.
Apalah
arti sebuah nama, begitu para penyair menyebutnya. Tapi, kalau memang rajin
mengamati terdapat makna mendalam disana. Dosen sekarang sudah canggih presensinya, pakai sidik
jari dengan passwordnya, jadi ketahuan kalau masuk atau nggak, telat tidak telat,
tanpa keterangan pun ketahuan. Sayang mahasiswanya masih konvensional,
seperti di abad ke-7 atau abad ke-8 Masehi yang masih menggunakan tinta dengan bulu angsa dan
kertas. Muncul suatu pertanyaan, sudah melakukan apa saja kita selama kurang lebih 13 abad ini ?
Terlalu lama dijajah, mengisolasikan diri karena kita memang negara insular, atau apa ?
Tapi intinya sama, sejak pertama kali kertas dan tinta digunakan manusia sudah mampu
membuat tanda dan sekarang di abad ke-21 ini, kita (mahasiswa) masih tanda
tangan pakai kertas dengan tinta.
Karena
masih menggunakan alat-alat zaman al-Ghazali (algazel) al-Khawarizmi
(algoritma), al-Jalaluddin rumi, hingga Harun ar-Rasyid (aaron the Upright)
dengan negeri 1001 malamnya yang masih eksis maka di zaman Bill Gates, Steve
Jobs, Mike Zuckenberg yang sudah serba tele (jarak jauh) maka paraf tersebut
sangat mudah di apusi. Namanya juga
absensi, tanda tangannya ada tapi batang hidungnya pun tak tampak.
Idealisme
Istilah
politik Abuse of Power (penyalahgunaan
wewenang/kekuasaan) suitable digunakan.
Para pelajar sering sekali melakukannya, umumnya titip absen, double absen,
triple absen, combo absen dan sebagainya.
Perkenalkan,
saya seorang pelajar berusia 19 tahun jalan. Kurang lebih 13 tahun
saya duduk dibangku sekolah. Sama seperti pelajar lain kebanyakan, empat
jenjang pendidikan saya pernah jajaki yang namanya bolos. Jangan ditiru!
Di
SD saya bolos bertiga bersama teman karena sewaktu itu kami pikir materi
kosong setelah ujian sekolah, jadi pergi saja kami bermain. Juga sewaktu
bersepak bola, kami semua sengaja mensiasati waktu hingga kembali ke sekolah di
jam yang hampir pulang.
Di
SMP juga pernah bolos. Sial memang, kalau tidak salah pada waktu itu kampanye bupati atau
perbaikan jembatan, seingat saya. Bersama teman-teman ketelatan masuk
sekolah yang harusnya jam 12.45, kita datang jam 13.30. Kedua teman saya
memutuskan ke warnet karena zaman itu lagi booming-nya.
Pikiran saya, "masa’ iya berangkat bertiga tinggal sendirian masuk
kelas lagian waktu itu juga udah basah kuyup kehujanan."
SMA
lebih berkesan. Menjelang Ujian Nasional, mata pelajaran difokuskan untuk yang
diujikan saja. Hari itu kami belajar biologi, Bu Enik gurunya , pagi-pagi semau ke kantin sempat
berpapasan. Entah setan dalam bentuk apa atau memang saya sendiri-lah, menjelang
siang tepat dipelajarannya saya bolos. Apesnya, Bu Enik memanggil M. Rinaldi
(Abot) dengan nama saya, nah disitulah ketauannya. Kata teman-teman yang masuk "bakalan kena besoknya" tahu sendiri ia terkenal dengan “tinju”-nya. Katanya
sih seruangan nahan ketawa ketika itu.
Benar
saja, besoknya satire bergema,
“Bambang, kemarin kemana sekarang ada.” Jadi bahan cengan waktu itu. Makin sarkasme Bu Enik melontarkan pertanyaan.
Beruntung waktu itu saya mampu menjawabnya Prokk! Prokk! Prokk! Bu Enik ber-paradoks, “Bambang ini sebenarnya pintar
sayang aja kurang rajin.” Serasa hari itu hari jum’at dan malaikat Israfil
berancang-ancang meniupkan sangkakalanya. Duarrr! Hancur alam semesta
berkeping-keping.
Benar
atau tidak, diyakini apa engga, pernyataan guru saya terdahulu, “Kalo pinter
sih gapapa bandel.” Terhimpun dikepala.
Di
bangku kuliah saya juga bolos. Mengajak teman-teman SMA saya mengikuti seminar
dan mengosongkan kuliah. Tapi lumayan juga hasil dari seminar itu kita bisa
makan buat dua malam. Wkwkwk
Dari
semua kejadian tersebut ada kepaduan. Idealisme. Semuanya murni bolos,
saya kosongkan, tidak ada titip-titipan. Saya juga sempat berpikir, "kalau saya
titip sekali absen pasti seterusnya temen-temen bergantian berkali-kali lipat."
Rasionalisme. "Bolos saja dosa apalagi titip absen double tuh dosanya," pikir
saya. Dosa sendiri-sendiri aja udah gede ditambah manggul dosa orang. Gamau ah ngajak-ngajak orang nambah-nambah dosa nanti main salah-salahan didepan
Tuhan. Nambahan dosa malah! Bolos sih bolos aja udah.
Foto: Seperti Kerbau dicucuk Hidungnya
Kembali
Masa
depan terasa suram bagi negeri yang besar ini. Cicit-cicit korupsi sudah marak
terjadi, terang-terangan, sistematis
pula. Hebat. Mau dikemanakan kami kami ini kalau dalam ruangan yang
difokuskan hanya jam keluar tidak lebih dan boleh kurang serta sebuah kertas absensi. Beberapa guru juga sama, yang
penting kalian bayar, mau masuk atau enggak bukan masalah yang penting kami
sudah dibayar, mengerti atau tidak juga tidak masalah sebab para guru sudah
menunaikan amanahnya. Sempat sakit hati saya (walaupun waktu itu yang dituju
bukan saya!) ketika guru berkata, “Terserah kalian sajalah, anak saya juga
bukan.”
Sia-sia sajalah kemuliaan ilmu
Yang kita tunggu sekedar jam
selesai
Mengerti tidak mengerti bukan
masalah
Datang berseragam saja sudah baik
Pada selembar kertas putih kita bertumpu
Paham tidak paham yang penting
hitam diatas putih
Yang paling utama adalah gelar bukan ilmu
Renungan
Dari
500 orang ini (angkatan dalam pelajar) mungkin hanya 1 atau 2 saja yang jadi
pakar, sedangkan yang lain jadi parasit...yang kerjanya hanya mengutak-utik
karya yang itu-itu saja tanpa kemampuan mengembangkan apresiasi kepada
masyarakat.
Saya
pikir, ribuan sarjana...yang telah diproduk dengan biaya mahal itu hanyalah
menjadi orang-orang yang mubazir. Ilmu yang diperolehnya tidak bermanfaat bagi
dirinya sendiri, apalagi bagi orang lain. (Navis, A.A., 1999).
Absensi Oh Absensi, Ilmunya!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar