Lanjutan review buku
‘Teologi Islam’
Analisa dan Perbandingan
Akal dan Wahyu
Teologi
sebagai ilmu ysng membahas soal ketuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia
terhadap Tuhan, memakai akal dan wahyu dalam memperoleh pengetahuan tentang
kedua soal tersebut. Akal, sebagai daya berpikir yang ada dalam diri manusia,
berusaha keras untuk sampai kepada diri Tuhan, dan wahyu sebagai pengkhabaran
dari alam metafisika turun kepada manusia dengan keterangan-keterangan tentang
Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia terhadap Tuhan.
Tuhan
Akal Wahyu
Manusia
Kaum
Mu’tazilah
Tuhan
MT
KMT
Akal Wahyu
MBJ
KMBJ
Manusia
Kaum
Ary’ariah
Tuhan
KMT
MBJ
Akal Wahyu
MT KMBJ
Manusia
Kaum
Maturidiah Samarkand
Tuhan
KMBJ
MBJ
Akal Wahyu
MT
KMT
Manusia
Kaum Maturidiah Bukhara
Tuhan
KMT
KMBJ
Akal Wahyu
MT
MBJ
Manusia
Keterangan:
MT:
Mengetahui Tuhan
KMT:
Kewajiban Mengetahui Tuhan
MBJ:
Mengetahui Baik dan Jahat
KMBJ:
Kewajiban Mengerjakan yang Baik dan Menjauhi yang Jahat
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kaum Mu’tazilah
memberikan daya besar kepada akal. Maturidiah Samarkand memberikan daya kurang
besar dari Mu’tazilah, tetapi lebih besar daripada Maturidiah Bukhara, dan kaum
Asy’ariah memberikan daya yang terkecil kepada akal.
Fungsi
Wahyu
Berdasarkan data sebelumnya maka dapat disimpulkan
terhadap fungsi wahyu bahwa wahyu memiliki kedudukan terpenting dalam aliran
Asy’ariah dan fungsi terkecil dalam paham Mu’tazilah.
Oleh karena itu didalam sistem teologi, yang memberikan
daya terbesar kepada akal dan fungsi terkecil pada wahyu, manusia dipandang
mempunyai kekuasaan dan kemerdekaan. Tetapi dalam sistem teologi yang
memberikan daya terkecil kepada akal dan fungsi terbesar kepada wahyu, manusia
dipandang lemah dan tidak merdeka.
Tegasnya, manusia, dalam aliran Mu’tazilah, dipandang
berkuasa dan merdeka sedangkan dalam aliran Asy’ariah dipandang lemah dan jauh
kurang merdeka. Di dalam aliran Maturidiah manusia mempunyai kedudukan menengah
diantara manusia dalam pandangan Mu’tazilah dan manusia dalam pandangan
Asy’ariah.
Free
Will dan Predestination
Datanya dapat
disimpulkan sebagai berikut:
Aliran
|
Kehendak
|
Daya
|
Perbuatan
|
Mu’tazilah
|
Manusia
|
Manusia
|
Manusia
|
Maturidiah
Samarkand
|
Manusia
|
Manusia
|
Manusia
|
Maturidiah
Bukhara
|
Tuhan
|
Tuhan
(efektif) Manusia ?
|
Tuhan
(sebenarnya) Manusia (kiasan)
|
Asy’ariah
|
Tuhan
|
Tuhan
(efektif) Manusia (tidak efektif)
|
Tuhan
(sebenarnya) Manusia (kiasan)
|
Jabariah
|
Tuhan
|
Tuhan
|
Tuhan
|
Kekuasaan
dan Kehendak Mutlak Tuhan
Sebagai akibat dari perbedaan paham yang terdapat dalam
aliran-aliran teologi islam mengenai soal kekuatan akal, fungsi wahyu dan
kebebasan serta kekuasaan manusia atas kehendak dan perbuatannya, terdapat pula
perbedaan paham tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Bagi aliran yang
berpendapat bahwa akal mempunyai daya besar dan manusia bebas dan berkuasa atas
kehendak dan perbuatannya, kehendak dan kekuasaan Tuhan pada hakikatnya tidak
lagi bersifat mutlak semutlak-mutlaknya. Bagi aliran yang berpendapat
sebaliknya, kekuasaan dan kehendak Tuhan tetap bersifat mutlak.
Dengan demikian bagi kaum Asy’ariah, Tuhan berkuasa dan
berkehendak mutlak, sedangkan bagi kaum Mu’tazilah, kekuasaan dan kehendak
Tuhan tidak lagi mempunyai sifat mutlak semutlak-mutlaknya.
Adapun kaum Maturidi, golongan Bukhara menganut pendapat
bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak. Sementara Maturidiah golongan
Samarkand, tidaklah sekeras golongan Bukhara dalam mempertahankan kemutlakan
kekuasaan Tuhan, tetapi tidak pula memberikan batasan sebanyak batasan yang
diberikan Mu’tazilah bagi kekuasaan mutlak Tuhan.
Keadilan
Tuhan
Paham Asy’ariah
tentang keadilan bertentangan benar dengan paham yang dibawa kaum Mu’tazilah.
Keadilan dalam paham kaum Asy’ariah ialah keadilan Raja Absolut, yang memberi
hukuman menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada suatu kekuasaan, kecuali
pada kekuasaannya sendiri. Keadilan paham Mu’tazilah adalah keadilan Raja
Konstitusional, yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum, sungguhpun hukum itu
adalah buatannya sendiri. Ia mengeluarkan hukuman sesuai dengan hukum dan bukan
sewenang-wenang.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara mengambil posisi yang
lebih dekat kepada posisi kaum Asy’ariah dalam hubungan ini, sedangkan golongan
Samarkand mengambil posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah.
Perbuatan-Perbuatan
Tuhan
1. Kewajiban-kewajiban Tuhan terhadap manusia.
Kaum Mu’tazilah berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban pada manusia. Bagi kaum Asy’ariah, paham Tuhan mempunyai
kewajiban tidak dapat diterima, karena hal itu bertentangan dengan paham
kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan yang mereka anut.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara sepaham dengan kaum
Asy’ariah tentang tentang tidak adanya kewajiban-kewajiban Tuhan. Golongan
Samarkand, memberi batasan-batasan kepada kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan
dan dengan demikian dapat menerima paham adanya kewajiban-kewajiban bagi Tuhan.
2. Berbuat Baik dan Terbaik (al-salah wa al-aslah)
Dikenal sebagai paham Mu’tazilah, dan yang dimaksud ialah
kewajiban Tuhan berbuat baik bahkan yang terbaik bagi manusia. Bagi kaum
Asy’ariah jelas bahwa paham ini tak dapat diterima, karena bertentangan dengan
paham kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan.
Kaum Maturidiah dengan kedua golongannya, juga tidak
sepaham dengan kaum Mu’tazilah dalam hal ini.
3. Beban di Luar Kemampuan Manusia
Kaum Mu’tazilah tak dapat menerima paham bahwa Tuhan
dapat memberikan kepada manusia beban yang tak dapat dipikul. Tetapi kaum
Asy’ariah menerima paham pemberian beban diluar kemampuan manusia ini.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara menerima pendapat kaum
Asy’ariah, sedangkan kaum Maturidiah golongan Samarkand mengambil posisi yang
dekat dengan Mu’tazilah.
4. Pengiriman Rasul-rasul
Kaum Mu’tazilah menilai pengiriman para rasul bersifat
tidak begitu penting namun merupakan kewajiban Tuhan untuk mengirimkan para
rasul sebagai perbuatan baik-Nya. Kaum Asy’ariah bersamaan pendapat dengan kaum
maturidiah golongan Bukhara yang menilai pengiriman rasul-rasul bersifat
mungkin karena merupakan kehendak dan kekuasaan Tuhan terhadap manusia entah
itu baik atau buruk. Kaum Maturidiah golongan Samarkand memiliki pendapat yang
sama mengenai kewajiban Tuhan mengirim para rasul.
5. Janji dan Ancaman
Menurut paham Mu’tazilah, menepati janji dan menjalankan
ancaman adalah wajib bagi Tuhan. Bagi kaum Asy’ariah sebaliknya, Tuhan tidak
mempunyai kewajiban menepati janji dan menjalankan ancaman yang tersebut dalam
al-Qur’an dan Hadits.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara dalam hal ini tidak
seluruhnya sepaham dengan kaum Asy’ariah. Dalam pendapat mereka, seperti
dijelaskan al-Bazdawi, tidak mungkin Tuhan melanggar janji-Nya untuk memberi
upah kepada orang yang berbuat baik, tetapi sebaliknya bukan tidak mungkin Tuhan
membatalkan ancaman untuk memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Golongan
Samarkand dalam hal ini mempunyai pendapat yang sama dengan kaum Mu’tazilah.
Mereka berpendapat upah dan hukuman Tuhan tak boleh tidak mesti terjadi kelak.
Sifat-Sifat
Tuhan
1. Sifat Tuhan pada Umumnya
Pertentangan paham antara kaum Mu’tazilah dengan kaum Asy’ariah
dalam masalah ini berkisar sekitar persoalan apakah Tuhan mempunyai sifat atau
tidak. Jika Tuhan mempunyai sifat-sifat itu mestilah kekal seperti halnya zat
Tuhan. Dan selanjutnya jika sifat-sifat itu kekal, maka yang bersifat kekal
bukanlah satu, tetapi banyak.
Tegasnya, kekalnya sifat-sifat akan membawa kepada paham
banyak yang kekal (ta’addud al-qudama’ atau
multiplicity of eternals). Dan ini
selanjutnya membawa pula kepada paham syirk atau polytheisme. Suatu hal yang
tak dapat diterima dalam teologi.
Seperti telah dibahas dalam bagian pertama, kaum Mu’tazilah
mencoba menyelesaikan persoalan ini dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak
mempunyai sifat. Kaum Asy’ariah membawa penyelesaian yang berlawanan dengan
paham Mu’tazilah. Mereka tegas mengatakan bahwa Tuhan mempunyai sifat (tidak
membawa kepada paham banyak kekal).
Kaum Maturidiah golongan Bukhara, karena juga
mempertahankan kekuasaan mutlak Tuhan, berpendapat bahwa Tuhan mempunyai
sifat-sifat. Golongan Maturidiah Samarkand dalam hal ini kelihatannya tidak
sepaham dengan Mu’tazilah, karena al-Maturidi mengatakan bahwa sifat bukanlah
Tuhan tetapi pula tidak lain Tuhan.
2. Anthropomorphisme
Karena Tuhan bersifat immateri, tidaklah dapat dikatakan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani. Kaum Mu’tazilah yang berpegang pada kekuatan
akal, menganut paham ini. Kaum Asy’ariah juga tidak menerima anthropomorphisme
dalam arti bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani yang sama dengan
sifat-sifat jasmani manusia dalam arti ‘Tuhan mempunyai mata dan tangan, yang
tak dapat diberikan gambaran atau definisi’.
Kaum Maturidiah Bukhara dalam hal ini tidak sepaham dengan
kaum Asy’ariah. Sedangkan golongan Samarkand sebagai biasanya dalam hal-hal
lain, mengambil posisi Mu’tazilah.
3. Melihat Tuhan
Logika mengatakan bahwa Tuhan, karena bersifat immateri,
tak dapat dilihat dengan mata kepala. Dan inilah pendapat kaum Mu’tazilah. Kaum
Asy’ariah sebaliknya, berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat oleh manusia dengan
mata kepala di akhirat nanti. Kaum Maturidiah dengan kedua golongannya sepaham
dalam hal ini dengan kaum Asy’ariah.
4. Sabda Tuhan
Mengenai sabda Tuhan atau kalam Allah atau tegasnya
al-Qur’an persoalannya dalam teologi ialah: kalau sabda merupakan sifat, sabda
mesti kekal, tetapi sebaliknya sabda adala tersusun dan oleh karena itu mesti
diciptakan dan tak bisa kekal.
Kaum Mu’tazilah menyelesaikan persoalan ini dengan
mengatakan bahwa sabda bukanlah sifat tetapi perbuatan Tuhan. Dengan demikian
al-Qur’an bukanlah bersifat kekal tetapi bersifat baharu dan diciptakan Tuhan. Kaum
Asy’ariah berpegang keras bahwa sabda adalah sifat, dan sebagai sifat Tuhan
mestilah kekal.
Kaum Maturidiah dengan kedua golongannya sependapat
dengan kaum Asy’ariah bahwa sabda Tuhan atau al-Qur’an adalah kekal.
Konsep
Iman
Dalam aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal dapat
sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan, iman tidak bisa mempunyai arti pasif.
Iman tidak bisa mempunyai arti tasdiq,
yaitu menerima apa yang dikatakan atau disampaikan orang benar. Bagi aliran-aliran
ini iman mempunyai arti aktif, karena manusia akalnya mesti dapat sampai kepada
kewajiban mengetahui Tuhan.
Oleh karena itu bagi kaum Mu’tazilah iman bukanlah tasdiq. Dan iman dalam arti mengetahui pun belumlah
cukup. Sebaliknya, kaum Asy’ariah berpandangan bahwa iman adalah tasdiq.
Kaum Maturidiah golongan Bukhara mempunyai paham yang
sama dalam hal ini dengan kaum Asy’ariah. Bagi golongan Samarkand, iman
mestilah lebih dari tasdiq, karena
bagi mereka akal dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan.
Bagaimanapun batasan iman dengan tasdiq hanya dapat sesuai denga aliran Asy’ariah dan aliran
Maturidiah golongan Bukhara. Adapun bagi aliran Mu’tazilah dan aliran
Maturidiah golongan Samarkand, iman mestilah lebih dari tasdiq, yaitu ma’rifah atau
amal.
Bersambung...
Sumber:
Nasution,
Harun. (2010). Teologi Islam:
Aliran-aliran, Sejarah, Analisa, Perbandingan. Jakarta: UI-Press.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar