... Antok dan Antik. Antok tumbuh menjadi kepala rumah
tangga yang tiap hari harus memeras keringat untuk penghidupan keluarganya.
Antik mendampingi suaminya dengan sabar. Dari keduanya lahir dua ekor semut
muda [anak mereka], yang sudah sekolah di SD.
Pada suatu siang, datanglah tiga lelaki ke rumah Antok.
Antik menerimanya tanpa dugaan jelek. Ketiga tamu langsung membekap kedua anak
kecil Antik. Antik sendiri tidak berdaya apa-apa.
Ketiga lelaki seperti serigala mencabik-cabik pakaian
Antik. Antik setengah tak sadar yang dirasakannya adalah hati yang
tercabik-cabik. Ketiganya dengan leluasanya memeras keringat yang membasahi
daster Antik. Ketika pencabikan berlangsung, dua anak-anak itu menyaksikan setengah
tidak mengerti. Setelah hajatnya usai, orang-orang itu berlalu begitu saja.
Mereka pergi seperti habis makan di warteg sambil bersiul-siul kecil.
Ketika Antok datang, Antik hanya melapor dengan tangis.
Kedua anaknya melapor dengan mata bengong.
Kami
yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak
bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi
siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang
kami maju dan berdegap hati?
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika
dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami
mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang,
kenanglah kami
Kami
sudah coba apa yang kami bisa
Tapi
kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami
sudah beri kami punya jiwa
Kerja
belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti
4-5
ribu jiwa
Kami
cuma tulang-belulang berserakan
Tapi
adalah kepunyaanmu
Kaulah
lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah
jiwa kami melayang untuk kemerdekaan,
Kemenangan
dan harapan
Atau
tidak untuk apa-apa
Kami
tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami
bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika
dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah
kami
Menjaga
Bung Karno
Menjaga
Bung Hatta
Menjaga
Bung Sjahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas
pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang
diliputi debu
BEKASI-KARAWANG-BEKASI
Bekasi,
teruskah kamu menimbun korban.
*Catatan
Pada bagian “Bekasi ditinggal
Chairil Anwar” merupakan salin-tempel penuh
dari:
Ecip, S. Sinansari. (1997). Pak Amin Kontra Pak Rais. Dalam Ismail,
Taufik dkk. (2003). Horison Esai
Indonesia: Kitab 2. Jakarta: Majalah Sastra Horison & Kaki Langit
bekerjasama dengan The Ford Foundation.
Puisi “Karawang Bekasi” karya
Chairil Anwar dalam:
Padi, Editorial. (2013). Kumpulan Super Lengkap Sastra Indonesia. Jakarta:
Padi.
Pada bagian akhir yaitu
“Bekasi-Karawang-Bekasi” merupakan salin-tempel
penuh dari:
Ismail, Op.Cit., hlm. 315.
Kesimpulannya adalah karya
diatas merupakan salin-tempel penuh
dan hanya dilakukan peng-edit-an dengan penyesuaian kata dan makna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar