19 Feb 2014

Sajak Ayah

“Persembahan dari Anak kepada Orangtua”

            Lahir di Jakarta, 24 Februari empat puluh sembilan tahun yang lalu (saat ini tahun 2014) dengan nama Bambang Supriyadi. Menghela nafas pertamanya di dunia dengan menatap ibu tanpa seorang ayah. Ia bukan al-Masih (juru selamat) yang Tuhan meniupkan firman melalui ruh-nya, akan tetapi ayahnya Muhadi bin (putera) Sahri telah meninggal dunia sebelum sempat melihat buah cintanya.

            Bambang Supriyadi adalah Bambang “I” yang digunakan sebagai marga untuk Bambang berikutnya, uniknya, nama marga keluarga ini berada didepan bukan dibelakang sebagaimana umumnya. Kemudian Supriyadi adalah nama salah seorang pahlawan kemerdekaan yang hingga kini belum diketahui dimana batang hidungnya (hubungannya dengan ayah akan disebutkan nanti). Heran, teman-teman kecilnya memanggil ia “Irin”, aku kurang tahu mengapa ia dipanggil demikian. Dan ia adalah silsilah akulturasi Purworejo (Ayah) dan Palembang (Ibu).

            Kehidupan kecilnya ia habiskan bersama ibu dan neneknya, sosok lelaki hanya seorang paman dalam keluarganya waktu itu. Saudara ayah juga meninggal dunia, “menurut mereka disebabkan sakit karena terus menangis akan kehilangan ayahnya (Muhadi)”.

            Jenjang pendidikan hanya sebatas SLTA. Ingin melanjutkan apa daya biaya dan batin meninggalkan ibu seorang diri terasa berat baginya. Sebagai siswa penikmat ilmu sosial wajar ia tahu permasalahan-permasalah yang berkembang di masyarakat. Baik itu strata marjinal, priyai, santri, madani, dan lain-lainnya. Ditambah ia gemar membaca (biasanya safari pasar Jatinegara) dan plesir ke sekitar wilayah-nya.

            Puluhan tahun hidup di Jakarta membentuk karakternya, ia pernah merasakan asam-garam Ibukota. Seluk-beluk metropolitan ia jelajahi pelosoknya (saya menjamin ia lebih paham Jakarta dibanding yang beliau yang berkuasa. Allah knows the thruth).

            Kehidupan fajar yang menuntun sang surya terbit mencerahkan dunia hingga hidup didunia malam layaknya manusia serigala menutupi purnama. Menurut ibu, ia lebih sering di sisi mata koin kegelapan malam dimasa mudanya. Mungkin itulah juga sebabnya pasangan hidup hingga saat ini lebih tua usianya dibanding dia.

            Tidak berlebihan mungkin saya menyebutnya “Pangeran Kolong Jakarta” sebab ia merupakan mantan seorang striker klub sepakbola SSB lokal, pecandu rokok berat, bahkan The Bloodless Man.

Yah, gih masuk kementerian pertahanan
divisi perencanaan strategi dan keamanan yah
sebab ayah kan juara pertama “gaple” komplek
juara kedua catur perumahan, dan
juara kedua catur PT Kalbe Farma
Enu tahu otak kanan ayah luarbiasa
...
Kenapa ? Yah

            Selama pindah ke Cikarang tahun 2000 karena pabrik dialihkan keluar ibukota ia tetap memiliki karisma terhadap lingkungan disekitarnya. Ia mapan dalam arti pengetahuannya luas dan pengalamannya banyak, namun disayangkan setiap kali pemilihan ketua RT ia menghilang dari bursa pemilihan. Itulah mengapa ia seorang Supriyadi, tak perlu jabat pemerintahan tapi bermanfaat bagi sekitarnya.

            Tanpa mendapat mandat atasan atau amanah masyarakat sekitar ia bergerak menggagas lomba-lomba hingga kegiatan-kegiatan kemasyarakatan. Perlu disimak bahwa sudah beberapa tahun ini di setiap tanggal 25 Desember ia selalu menginisiasi sunat massal gratis bagi anak-anak dilingkungannya maupun diluar lingkungan.

Tanpa ia sadari atau tak pernah ia pikirkan
Bahwa ia menggalakkan kesehatan dengan khitanan
Bersandar Isa al-Masih diberikan-Nya mukjizat ilmu Kesehatan

            Kehidupannya berubah barangtentu sebab meninggalnya putera pertama “Bambang Eka Wicaksono” ia nampak lebih sering menyembah-Nya. Dan sebagai pelajaran yang dapat diperoleh bahwa ia baru mampu membaca al-Qur’an di usia yang menginjak kepala empat. Disayangkan memang, tetapi perlu diberikan apresiasi keinginan besarnya untuk lebih dekat kepada-Nya. Ya, dia seorang perokok berat namun juga ahl-sunnah wa al-jama’ah.

Semoga amal perbuatan dia
Menghapus dosa masa lalunya
Sebagaimana hujan menghilangkan debu dan kotoran
Di jalan lurus maupun persimpangan

            Di usia yang kian senja dari masa produktifnya ditambah telah pensiun dari pekerjaannya sebagai karyawan swasta, ia menghabiskan masa emasnya dengan berusaha. Bebas dari pekerjaan kasar sebab revolusi industri, ia menghidupi keluarganya dengan tangan dan perbuatannya sendiri.

Mengapa orang-orang sepertinya tidak memiliki kehidupan yang dibayangkan ?
Yah, ilmu ayah luas serta pengalaman matang
Mengapa tidak ayah saja mengisi posisi mereka
Yang dari kapabilitas rata-rata ayah diatasnya
Tetapi realitanya malah sebaliknya
Apakah ayah kalah
“Bukan” karena ilmu yang ayah punya
Tapi karena kurang lantangnya suara
Yang “mereka” jual untuk mengembalikkan “modal”
Di Pemilihan Umum
Dan memang ayah tidak menginginkan maupun mengikutinya
Tapi ayah, membuktikan kami keluarganya
Teladan mengubur slogan-slogan

2 komentar:

  1. kereeen tulisannya... selamat milad buat ayahnya :)

    BalasHapus
  2. hahaha makasih ya
    iseng-iseng aja nulis :)

    BalasHapus